Fenetik beberapa tanaman sawo (Pouteria, Sapotacae) berdasarkan data RAPD (RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alamnya yang sangat melimpah. Keanekaragaman tumbuhan Indonesia sangatlah tinggi. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh letak geografis Indonesia yang berada digaris khatulistiwa. Letak geografis inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam terbanyak di dunia. Sebagai negara tropis, ada banyak potensi buah-buahan yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, salah satunya adalah buah dari familia Sapotaceae (Triono, 2000).

Sapotaceae terdiri dari 53 genus dan 1100 spesies. Genus-genus yang cukup dikenal antara lain Pouteria (325 spesies), Palaquium (110 spesies), Planchonella (100 spesies), Madhuca (100 spesies), Sideroxylon (75 spesies) dan Chrysophyllum (70 spesies) (Judd et al., 2002). Anggota familia ini biasanya tumbuh pada daerah dengan ketinggian antara 0-1500 mdpl. Struktur tanah yang mendukung pertumbuhan mereka adalah tanah yang agak asam serta tanah lempung berpasir (Triono, 2000).

Salah satu genus dalam familia Sapotaceae adalah Pouteria. Pouteria sebagai genus dengan jumlah spesies terbanyak diantara genus-genus lainnya memiliki beberapa jenis yang cukup dikenal yaitu Pouteria campheciana, P. sapota, P. duclitan dan P. obovata. Spesies-spesies tersebut di Indonesia dapat ditemukan diantaranya di Kebun Raya Bogor. P. duclitan sering ditemukan pada daerah tropis dan subtropis di Asia dan Amerika Selatan (Swenson & Anderberg, 2005). Daunnya berbentuk elips dan ujung daunnya meruncing (Lemmens & Soerianegara, 1996). Buahnya merupakan buah beri dengan sepal persisten yang terdiri dari 1-6 biji di dalamnya (Moon et al., 2008), berbentuk lonjong dengan ukuran 1,2-3,5 cm (Lemmens & Soerianegara, 1996). Sebagai spesies pembanding P. obovata memiliki bentuk daun oval dengan duduk daun berseling berukuran antara 15-25 cm. Buah berbentuk oval (Slik, tanpa tahun), sedangkan P. campechiana yang juga sebagai spesies pembanding memiliki daun yang berbentuk lonjong (Triono, 2000). Buahnya tergolong ke dalam buah beri dengan sepal yang persisten (Moon et al., 2008) dan berbentuk gelendong hingga bulat telur dan berwarna kuning (Triono, 2000).

Beberapa pohon P. duclitan di Kebun Raya Bogor tumbuh dengan kondisi dan tempat yang sama namun mengalami perbedaan pada bentuk buah, sehingga diperlukan klarifikasi untuk menentukan status taksonomi tanaman tersebut. P. obovata dan P. campechiana sebagai spesies pembanding yang digunakan juga berasal dari tempat yang sama yaitu Kebun Raya Bogor.
tumbuhan sawo, image by budidayamenjanjikan.blogspot.com


Perubahan fenotip merupakan salah satu bentuk ekspresi gen yang berbeda yang menyebabkan perubahan. Wijana et al. (2008) melalui penelitiannya menjelaskan bahwa bentuk buah adalah salah satu sifat-sifat spesifik yang dapat digunakan sebagai penciri dari masing-masing kultivar. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Malik et al. (2012) mengenai keanekaragaman jeruk (Citrus sinensis) menggunakan karakteristik morfologi yang dianalisis berdasarkan data RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Perbedaan karakteristik morfologi yang digunakan salah satunya juga dengan karakteristik bentuk buah. Karakteristik morfologi bentuk buah mengindikasikan adanya perbedaan secara genetik. Hal ini dibuktikan melalui penelitian Majourhat et al. (2008) dan Wijana et al. (2008) yang melihat perbedaan bentuk buah sebagai latar belakang penelitiannya pada Argania spinosa (Sapotaceae) dan Mangifera caesia menggunakan penanda RAPD.

Dengan adanya perbedaan ini maka perlu dilakukan klasifikasi ulang pengelompokkan tanaman sawo. Pengelompokkan (klasifikasi) tumbuhan yang telah dilakukan selama ini berdasarkan pada karakteristik morfologi dan anatomi. Salah satu klasifikasi berdasarkan morfologi yang sering dikenal adalah Conqruist tahun 1981. Selain itu, penelitian mengenai morfologi Pouteria khususnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Triono (2000) mengenai morfologi dan potensi berbagai jenis sawo di Kebun Raya Bogor, Moon et al. (2008) mengenai berbagai jenis Pouteria yang ada di Indonesia, Orwa et al. (2009) mengenai P. campechiana dan P. sapota serta P. caimito oleh Love & Paul (2011).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti ini, dijelaskan mengenai deskripsi secara morfologi dari karakteristik habitus, bentuk daun, buah, biji dan bunga serta persebaran masing-masing jenis Pouteria yang mereka teliti, sedangkan mengenai anatominya hanya ditemukan penelitian yang dilakukan oleh Kukachka (1982) mengenai anatomi kayu familia Sapotaceae. Dalam penelitiannya, ia mendeskripsikan anatomi yang homogen pada kayu familia Sapotaceae. Kemudian dengan didukung oleh data morfologi dan anatomi maka dapat dilakukan pengelompokkan atau hubungan kekerabatan (taksonomi) oleh para peneliti. Penelitian mengenai pengelompokkan atau hubungan kekerabatan (taksonomi) Pouteria diantaranya dilakukan oleh Brunner & Payan (tanpa tahun) yang menjelaskan mengenai kekerabatan Pouteria sapota dengan sawo jenis lainnya.

Berbicara mengenai pengelompokkan atau hubungan kekerabatan (taksonomi) tentunya hal itu merupakan bagian dari sistematik. Sistematik adalah ilmu tentang keanekaragaman organisme. Ilmu tersebut mencakup penemuannya, deskripsi dan interpretasi keanekaragaman biologi melalui sistem klasifikasi. Oleh karena itu, sistematik mempelajari keanekaragaman biologi yang ada di bumi pada saat ini dan di masa lalu (Judd et al., 2002).

Fenetik berasal dari bahasa yunani phainein yang berarti “yang terlihat”. (Campbell et al., 2003). Fenetik menganalisis karakter kesamaan fenotip antar spesies (Jensen, 2009). Dalam setiap level taksonomi, setiap spesiesnya memiliki karakteristik yang umum dan bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan pada setiap kelompoknya (Young, 2001). Data fenetik dituangkan dalam bentuk angka (Jensen, 2009). Dalam fenetik, setiap spesies diperlakukan sebagai kategori berupa kelas-kelas tanpa mempertimbangkan garis keturunan yang menghubungkan mereka. Pendekatan ini tidak terlalu mengaitkan analisisnya dengan adanya evolusi namun tidak diabaikannya begitu saja (Rasnovi, 2004).

Seiring dengan perkembangan zaman yang diikuti dengan kemajuan teknologi. Saat ini, klasifikasi tumbuhan dapat dilakukan secara molekuler melalui DNA tumbuhan. Istilah ini lebih dikenal dengan analisis genetik. Analisis genetik merupakan metode pengelompokkan organisme melalui identifikasi DNA (Semagn et al., 2006). Genom pada tumbuhan terdapat pada kloroplas,
mitokondria dan nukleus.Pada kloroplas terdapat sekitar 135-100 kbp, mitokondria 200-2500 kbp dan nukleus 1,1x106 hingga 110x109 kbp. Gen yang ada pada kloroplas cenderung lebih cepat mengalami mutasi dibandingkan dengan gen pada mitokondria (situasinya tumbuhan). Genetika molekuler dan biokimia menjadi alat utama dalam memahami evolusi dalam molekuler biologi tumbuhan (Judd et al., 2002).

Analisis genetik biasanya menggunakan beberapa penanda seperti AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), ASSR (Anchored Simple Sequence Repeats), ASAP (Allele Spesific Associated Primers), ASO (Allele Spesific Oligo), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan lain-lain (Semagn et al., 2006). Klasifikasi secara molekuler pada tanaman Angiospermae telah banyak dilakukan, analisis data fenetik yang dilakukan baik dari genom yang ada di plastida seperti rbcL, matK, ndhF, trnL-F dan DNA ribosomal seperti 18S, 26S, ITS, ETS (Duarte et al., 2010).

Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan penanda lainnya yaitu lebih murah, cepat dalam pengerjaannya dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikembangkan oleh Williams pada tahun 1990. Teknik RAPD menggunakan polimorfisme dalam melakukan analisis data. Dengan adanya polimorfisme berarti menunjukkan adanya variasi genetik. Variasi genetik ini menggambarkan adanya keberagaman dalam satu spesies (Muharam et al., 2012).

Beberapa penelitian molekuler mengenai Pouteria telah dilakukan dengan menggunakan penanda yang sama yaitu RAPD. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Bartish et al. (2005) dengan mengambil beberapa sampel Pouteria dari Australia, Amerika dan Afrika. Rojas et al. (2012) yang menggunakan sampel Pouteria sapota dalam penelitiannya. P. sapota sering dikonsumsi di wilayah Meksiko, perbanyakannya hanya melalui biji dan memiliki keanekaragaman genetik yang luas. Latar belakang inilah yang menyebabkan adanya penelitian yang dilakukan oleh Rojas et al. (2012). Berdasarkan penelitian Rojas et al. (2012) dengan menggunakan 10 primer dalam metode RAPD, didapatkan beberapa primer yang cocok dan persentase polimorfiknya tinggi. Beberapa Primer tersebut dijadikan sebagai primer dalam penelitian ini.

0 Response to "Fenetik beberapa tanaman sawo (Pouteria, Sapotacae) berdasarkan data RAPD (RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA"

Posting Komentar

wdcfawqafwef